Resonansi Anies Baswedan dan Reaksi Oligarki

Oleh: Yusuf Blegur*

KOLOM PEMBACA, PalembangSatu – MESKIPUN bersama dukungan rakyat, sesungguhnya Anies Baswedan tetap harus berhadapan dengan dinasti oligarki. Berseteru dengan sistem pemilu, partai politik, KPU dan intervensi kekuasaan lainnya.

Anies akan terpaksa “head to head” melawan perjudian pemilik modal dan semua instrumen politik ekonomi dari oligarki yang mengusung demokrasi semu dan sebatas ilusi.

Euforia Anies semakin meluas. Anies menanjak populer dan terus memanen dukungan rakyat. Resonansi Anies kian tak terbend ung. Dari satu suku ke suku lain, dari satu agama ke agama lain, begitu juga dari dari satu ras ke ras lain dan dari satu golongan ke golongan lain.

Anies menjadi figur pemimpin yang melampaui batas kebhinnekaan dan kemajemukan, melewati batas kedaerahan dan harapan seluruh rakyat.Dengan inisiasi sendiri yang spontan nan spartan, rakyat berduyun-duyun mendukung Anies.

Anies terus bermetamorfosis sebagai pemimpin yang berasal dari dan mewujud Indonesia. Bukan pesuruh kepentingan global atau sekedar kebusukan persekongkolan busuk politisi dan pengusaha.

Anies seakan menjadi alternatif sekaligus mimpi-mimpi dan kehendak rakyat akan kehadiran pemimpin ideal. Pemimpin sejati yang bebas dari KKN, bebas dari pencitraan semu dan bebas dari konspirasi jahat yang mengangkangi negara. Anies dianggap representasi aspirasi dari suara dan kedaulatan rakyat. Anies hadir menjawab kejumudan rakyat terhadap belenggu demokrasi kapitalisitik dan transaksional yang mengadopsi liberalisasi dan sekulerisasi.

Jalan kepemimpinan Anies sejauh ini adalah jalan penderitaan. Memilih menjadi pemimpin adalah memilih hidup menderita, merupakan jalan pilihan Anies. Menyusuri segala kesulitan dan kegetiran saat memperjuangkan nasib rakyat. Dicerca Tak Tumbang, Dipuja Tak Terbang, begitulah seorang Anies Baswedan seperti yang dilukiskan dalam bukunya Ady Amar, seorang penulis berkarakter.

Sejauh memimpin program-program kerakyatan seperti Indonesia mengajar dan menjadi rektor Universitas Paramadina, hingga pada birokrasi pemerintahan dalam kapasitas sebagai menteri pendidikan, hingga Anies menjadi gubernur DKI Jakarta.

Kepemimpinan Anies begitu rentan diserang juga bergelut dengan badai kritik dan hujatan bahkan penghinaan, namun seiring itu Anies tetap kokoh dan kuat bagaikan gunung yang menancap di bumi yang mengaliri banjir prestasi.

Populisme Anies Dalam Realitas Demokrasi

Berada dalam iklim demokrasi yang menjadi bagian dari sistem dan struktur kapitalisme. Membuat siapapapun pemimpin di Indonesia harus berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang cenderung ambigu dan ambivalens.

Di satu sisi pemimpin mengemban amanat penderitaan rakyat dan berkewajiban mewujudkan negara kesejahteraan. Di sisi lain, seorang pemimpin juga harus menghadapi dominasi dan hegemoni para pemilik modal dan kaum borjuasi berbaju oligarki.

Dilema kepemimpinan dalam atmosfer demokrasi yang absurd yang demikian itu, lebih banyak dan sering menghasilkan kepemimpinan yang kontradiktif. Teguh mewakili kepentingan rakyat atau larut dalam belenggu oligarki. Saking banyaknya produk pemimpin yang berlisensi oligarki.

Alih-alih mengadakan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Pemimpin hasil rekayasa sosial politik yang berfungsi sebagai boneka, justru tampil vulgar melayani dan memuaskan nafsu oligarki.

Anies kini menghadapi fase di mana jalan kepemimpinannya menuju puncak jalan berliku dan begitu terjal.

Anies juga merasakan seperti menyusuri selasar berduri di antara dua karang tajam. Anies berada dalam ruang geliat demokrasi dan diharuskan memilih, mengikuti kehendak rakyat atau meladeni keinginan oligarki. Anies sepatutnya cerdas dan elegan bersikap melawan dan bersiasat dengan oligarki. Atau bergandengan tangan dengan oligarki yang selama ini menjadi sumber masalah dan kehancuran bangsa.

Bukan hanya bagi Anies, keniscayaan demokrasi di negeri ini juga menjadi problem akut bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat yang selama ini sering menjadi korban dan bulan-bulanan pukulan demokrasi hampa. Dituntut untuk mampu keluar dari krisis kedaulatan rakyat dan kepemimpinan negara bangsa. Rakyat juga harus bersikap tegas mewujudkan demokrasi yang sehat, tanpa pragmatisme dan perdagangan demokrasi. Tanpa “money politic” dan tanpa terbius pencitraan yang memabukan.

Rakyat harus berani memulai mengubah Indonesia menjadi lebih baik dengan cara memulai membangun demokrasi yang beradab. Anies hanyalah sebuah janin dari kandungan rakyat. Ia akan terlahir menjadi bayi yang potensial dan tumbuh berkembang menjadi pemimpin sejati, jikalau rakyatnya dapat menjadi rahim yang sehat dan kuat pula.

Begitupun dengan Anies, sebisanya dapat menjadi pemimpin yang welas asih dan mencintai rakyatnya. Menjadi pemimpin yang apa adanya. Menjadikan rakyat dan negara bangsa Indonesia, seperti keluarga sendiri yang harus dijaga dan dilindungi.

Dengan segenap kasih sayang, dengan segenap jiwa raga. Dengan nasionalisme dan patriotisme yang mengakar pada tekad kuat, dan kesediaan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai dasar menghidupkan kembali cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia dan tercapainya negara kesejahteraan.

Lalu bagaimana dengan eksistensi dan daya cengkeram oligarki? Biarlah seiring waktu, Anies bersama rakyat yang akan menjawabnya. Akankah demokrasi menjadi sejatinya mewujud kehendak rakyat atau demokrasi ilusi yang dikuasai oligarki?

Semoga bukan demokrasi basa-basi atau demokrasi sebagai bungkus obsesi dan ambisi oligarki yang terjadi kedepannya. Terlebih ketika dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang, saat Anies berkompetisi dengan bertaburannya lakon-lakon wayang oligarki.

*) Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari.