Banyak buku diterbitkan dari tangannya, tapi hampir tidak pernah menerbitkan bukunya sendiri
Kamu suka membaca banyak buku dan tahu siapa saja penulis-penulisnya? Bahkan kamu yang suka membaca buku sudah pasti memiliki penulis idola. Tapi apakah kamu tahu siapa saja nama-nama editor yang ada di balik buku-buku dan penulis yang kamu idolakan itu? Sepertinya agak sulit untuk menjawab itu. Jangankan untuk mengingat, siapakah editor sebuah buku aja rasanya kita enggak pernah tahu.
Seorang editor buku sejatinya memiliki peranan penting pada terbitnya sebuah buku. Apalagi kalau sudah sampai masuk kategori best seller. Pentingnya peranan seorang editor tak hanya terbatas mengoreksi penggunaan tanda baca dan huruf kapital. Editor pun memainkan peran sebagai konsultan buku secara keseluruhan, baik penataan aksara, alur cerita, pengembangan plot dan sebagainya tanpa mengubah atau merusak ciri khas dari penulis itu sendiri. Sekarang sudah kebayang seperti apa pekerjaan editor buku itu, kan?
Tapi mungkin akan muncul pertanyaan, kalau editor buku bisa melakukan semua itu lantas kenapa mereka tidak menerbitkan buku sendiri? Toh, mereka sudah menguasai berbagai hal tersebut.
Jawabannya ada pada fakta-fakta di bawah ini.
1. Waktu Editor Habis untuk Mengurusi Naskah Penulis
Editor adalah profesi yang mendedikasikan dirinya untuk memoles naskah para penulis agar dapat layak terbit. Bahkan dengan jaminan mendapatkan banyak pembaca. Dan waktu untuk memoles sebuah naskah buku tidaklah sebentar. Syukur-syukur kalau penulisnya sudah punya jam terbang tinggi dan punya nama di pasar, pekerjaan editor pasti akan lebih ringan karena penulis sudah belajar dari pengalaman.
Dan bukan hal yang aneh bila seorang editor mendapat tanggung jawab untuk mengoreksi lebih dari satu buku. Bisa kebayang seperti apa hactic-nya hari-hari editor saat dihadapi hal semacam itu.
Editor harus bisa mengerjakan setiap buku yang memiliki kekurangan masing-masing. Apalagi, tak jarang editor sampai harus sering lembur-lemburan. Semua hal itu pasti menyita setiap waktu editor sehingga ia pun tak memiliki waktunya untuk menulis bukunya sendiri.
2. Selalu Dikejar Deadline
Saat naskah sudah berada di tangan editor dan dianggap layak terbit, maka saat itulah editor sudah harus berhadapan dengan deadline-nya sendiri. Pengalaman penulis sendiri selama menjalani profesi editor buku non-fiksi, waktu yang diberikan untuk menyelesaikan sebuah buku dengan tebal 200 halaman hanyalah sekitar 100 hari atau 3 bulan lebih. Itu pun sudah termasuk dalam proses pengumpulan data premier, sekunder, dan kepenulisan.
Rasanya setiap editor, baik untuk fiksi maupun non-fiksi akan selalu dikejar deadline untuk merampungkan sebuah naskah sampai layak terbit. Karena bila menunda sebuah buku untuk terbit sama aja dengan membiarkan asupan gizi pada jiwa masyarakat tertunda.
Dikejar deadline otomatis membuat pikiran editor harus tetap fokus pada buku yang sedang digarap. Inilah salah satu faktor kenapa editor sulit menerbitkan bukunya sendiri.
3. Waktu Luang untuk Membaca Buku dan Bersantai
Syarat untuk menjadi editor adalah harus menggilai buku. Ya, editor harus suka membaca buku. Apalagi pekerjaan sebagai editor itu sangat menuntut memiliki banyak referensi buku. Karena dengan memiliki referensi buku maka ide-ide segar akan dapat muncul, dan bisa digunakan saat menggarap buku-buku para penulis yang sudah mengantre.
Kegemaran membaca buku ini juga yang membuat editor lebih memilih menggunakan waktu luang untuk membaca buku. Toh, membaca buku juga bisa sambil bersantai di pantai atau teras rumah. Apalagi sebetulnya editor hanya memiliki sedikit waktu luang. Sebab biasanya antrean naskah akan selalu ada setiap kali editor sudah menyelesaikan satu naskah.
Dan sedikit bocoran, biasanya editor juga harus mengorbankan waktu liburannya untuk menggarap naskah yang sudah mepet masa deadline-nya. Jadi benar-benar hampir tak punya waktu untuk menggarap buku sendiri, kan?
4. Dedikasinya untuk Memoles Naskah, Bukan Menerbitkan Buku
Satu fakta terakhir yang perlu diketahui bahwa editor sudah mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran untuk memoles naskah agar layak terbit dan berhasil menarik banyak pembaca. Bahkan syukur-syukur bisa masuk kategori buku best seller. Inilah kenapa editor sedikit mengenyampingkan egonya untuk menerbitkan buku sendiri. Meskipun sebetulnya ada keinginan di hati kecil untuk dapat menulis dan menerbitkan bukunya sendiri.
Inilah fakta-fakta yang harus kamu tahu tentang editor dan kenapa editor jarang bisa menerbitkan bukunya sendiri, padahal ada banyak buku yang berhasil terbit dan menjadi best seller berkat polesannya.
Jadi, jangan lagi tak acuh pada peran editor. Setidaknya, coba intip nama-nama editor di buku-buku favorit kamu. Barangkali editor dari setiap buku yang bagus-bagus itu sama. Dan itu bisa menjadi acuan bagi kamu saat akan membaca buku yang ditulis oleh penulis baru.
[Rahardian Shandy/ IDN Times]