Bagaimana tidak, pada akhir masa jabatan pertamanya, Jokowi mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai sejumlah pihak justru akan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, simbol pemberantas korupsi.
Kebijakan yang dimaksud adalah menyerahkan nama-nama calon pimpinan KPK yang dinilai bermasalah, serta menyetujui revisi UU KPK yang ditolak publik luas lantaran dinilai akan melemahkan KPK.
Jelang pelantikannya, Jokowi sempat memberi angin segar dengan mengatakan bahwa ia mempertimbangkan peraturan pengganti undang-undang atas UU KPK hasil revisi setelah gelombang aksi unjuk rasa di sejumlah kota.
“Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa perppu,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Pupusnya harapan Perppu KPK
Masuknya Mahfud MD dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan juga diharapkan dapat ikut mendorong Jokowi segera mengeluarkan Perppu KPK.
“Kalau dikaitkan dengan pembentukan kabinet, dengan ditunjuknya Prof Mahfud sebagai Menko Polhukam maka harusnya bisa meminta kepada presiden segera mengeluarkan perppu,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana, Senin (28/10/2019).
Namun, hingga 27 Januari 2020, atau 100 hari setelah menjabat sejak 20 Oktober 2019 lalu, Perppu KPK tinggal menjadi angan-angan yang mustahil terwujud.
Sebab, Jokowi pernah mengatakan bahwa ia tidak akan mengeluarkan perppu dengan alasan proses uji materi terhadap UU KPK masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi.
“Kita melihat, masih ada proses uji materi di MK. Kita harus hargai proses seperti itu,” kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11/2019).
“Jangan ada uji materi ditimpa dengan keputusan yang lain. Saya kira, kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan,” lanjut dia.
Pernyataan ini disambut dengan kritikan pedas dari kalangan aktivis antikorupsi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai, pernyataan Jokowi yang akan mempertimbangkan Perppu KPK hanyalah demi meredam gelombang demonstrasi jelang pelantikannya bersama Ma’ruf Amin.
“Saya pikir jokowi memperjelas posisinya di mata publik, Jokowi telah memilih berada bersama partai-partai politik untuk merusak KPK,” kata Feri menambahkan.
Pendapat serupa disampaikan peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Gita Putri Damayana yang menilai Jokowi telah memanipulasi publik dengan batal menerbitkan Perppu KPK.
“Jadi bisa kita lihat, Presiden Jokowi sebetulnya tidak peduli meski mahasiswa dan buruh sudah turun menagih Perppu. Artinya publik dan masyarakat harus bersiap merapatkan barisan situasi pemberantasan korupsi yang dilemahkan dengan situasi KPK sekarang,” kata Gita.
Rencana Perpres
Sikap Jokowi yang menolak Perppu KPK dipertegas dengan pernyataan pihak Istana Kepresidenan yang menyebut Jokowi tengah menyiapkan sejumlah peraturan presiden dan keputusan presiden terkait UU KPK.
Salah satu perpres yang sedang disusun adalah perpres tentang susunan organisasi, tata kerja pimpinan, dan organ pelaksana pimpinan KPK yang juga mendapat sorotan setelah draf rancangan perpresnya tersebar luas.
Alasannya, rancangan aturan itu menyebutkan bahwa Pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala negara.
“Jelas itu sesat lagi menyesatkan. Sepertinya istana salah tafsir soal ‘KPK adalah lembaga independen dalam ranah eksekutif’. Tidak berarti di ranah eksekutif harus bertanggungjawab kepada presiden,” kata Feri Amsari saat dihubungi, Jumat (27/12/2019).
Menurut Feri, sebuah lembaga yang berada di rumpun eksekutif tidak melulu berada di bawah komando presiden, misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Apalagi, kata Feri, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangya KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
“Kalau meletakkan KPK bertanggung jawab kepada Presiden, artinya juga hendak meletakkan KPU begitu. Lembaga-lembaga independen di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden itu keterlaluan,” ujar Feri.
Klaim pasca-OTT
Di tengah keraguan publik akan masa depan KPK, KPK membuat gebrakan di awal tahun 2020 dengan melakukan dua operasi tangkap tangan dalam dua hari berturut-turut.
Adapun, dua OTT itu yakni OTT terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan.
Dua OTT tersebut seolah-olah menjadi oase setelah sebelumnya KPK belum pernah menggelar OTT sejak mulai berlakunya UU KPK yang baru pada 17 Oktober 2019.
Pihak pemerintah pun mengklaim dua OTT tersebut membuktikan KPK tidak lemah meski UU KPK telah berlaku.
“Buktinya saya sudah sampaikan KPK melakukan OTT, ke bupati dan KPU meskipun Komisonernya masih baru, Dewas-nya masih baru,” kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Polemik penyegelan DPP PDI-P
Meski demikian, dua OTT tersebut bukannya tanpa cela.
Indikasi KPK dilemahkan justru terlihat dalam rangkaian OTT terhadap Wahyu Setiawan. Misalnya, ketika Tim KPK gagal menyegel Kantor DPP PDI-P.
Penggeledahan yang biasanya dilakukan sesegera mungkin setelah OTT terjadi, nyatanya tak kunjung dilakukan di Kantor DPP PDI-P.
Pada Rabu (15/1/2020), sepekan setelah OTT Wahyu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan, pihaknya belum mengantungi izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK.
“Iya belum turun, kalau alasan turun (atau) tidak turun, tentu dari yang memberi izin, yang jelas kami sudah memohonkan itu,” kata Nurul Ghufron kepada Kompas.com saat menghadiri pengukuhan guru besar hakim agung Hary Djatmiko di Auditorium Universitas Jember, Jawa Timur.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Panggabean sendiri telah membantah bahwa pihaknya memperlambat proses penyidikan.
Ia mengklaim, izin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan akan keluar maksimal 1×24 jam setelah permohonan diterima.
“Kami memberikan izin 1×24 jam paling lama dan saya jamin itu bisa kami laksanakan, kita sudah bicarakan tadi. Kita tidak ada orang katakan ‘dewas ini menghambat, memperlama-lama kasus’, enggak ada itu ya,” kata Tumpak.
Entah mana yang benar, penggeledahan Kantor DPP PDI-P dalam kasus ini yang harus seizin Dewan Pengawas dinilai menjadi bukti pelemahan KPK lewat UU KPK yang baru.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti tidak mungkin dapat berjalan dengan tepat dan cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas KPK.
Hal itu belum ditambah persoalan waktu di mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti.
“Dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata,” kata Kurnia
Masih berkaitan dengan OTT Wahyu Setiawan, anggapan KPK lemah juga didengungkan ketika Harun Masiku, salah satu tersangka kasus ini, tak kunjung ditangkap oleh KPK.
Bahkan, ada yang menilai bahwa Harun Masiku “lolos” dari OTT KPK.
Menurut Kurnia, KPK selama ini dikenal sebagai lembaga yang mampu mengungkap sebuah perkara dengan cepat hingga menangkap para pelaku dan aktor intelektualis.
Namun, Kurnia menilai KPK pada era pimpinan Firli Bahuri justru melempem karena terkesan lambat dalam proses penegakan hukum, terutama dalam memburu Harun Masiku.
“Nazarudin yang di Kolombia saja bisa ditangkap oleh KPK, kenapa Harun yang jelas-jelas sudah di Indonesia saja tidak mampu segera diproses?” ujar Kurnia.
M Nazaruddin adalah politikus Partai Demokrat sekaligus mantan anggota DPR, ditangkap KPK dalam pelariannya di Kolombia pada 2011. Ia tersandung kasus korupsi Wisma Atlet.
Yasonna menuai polemik
Tak hanya KPK yang dianggap melempem, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga mendapat sorotan dalam polemik ini.
Politikus PDI-P itu dituding menghalang-halangi penyidikan.
Alasannya, Yasonna dinilai memberi informasi yang tidak valid terkait keberadaan Harun.
Pada 16 Januari 2020, Yasonna bersikukuh menyatakan Harun di luar negeri meski terdengar kabar bahwa Harun telah tiba di Indonesia pada Selasa (7/1/2020), sehari sebelum OTT terhadap Wahyu.
Yasonna Laoly kemudian seperti menelan ludah sendiri ketika Dirjen Imigrasi Ronny Sompie akhirnya mengakui bahwa Harun telah berada di Indonesia pada Selasa (7/1/2020).
Akibat kesimpangsiuran informasi ini, Yasonna diadukan ke KPK dengan tudingan merintangi penyidikan.
“Tidak masuk akal gitu lho alasan dari Kementerian Hukum dan HAM. Sebenarnya kan persoalannya sederhana mereka tinggal cek CCTV di bandara saja apakah benar temuan-temuan atau petunjuk yang diberikan oleh Tempo, tapi itu juga tidak ditindaklanjuti dengan baik,” kata Kurnia, Kamis (23/1/2020).
Imbas polemik ini, Presiden Joko Widodo juga didorong untuk segera memberhentikan Yasonna.
Sebagai pejabat publik, Yasonna dinilai mestinya memberikan informasi yang valid kepada masyarakat.
“Karena dengan statement dari Pak Yasonna yang menyatakan yang bersangkutan tidak di Indonesia itu akhirnya semakin menambah lama proses pencarian dan penyelidikan kasus Harun,” kata Deputi Koordinator Kontras, Putri Kanesia.
Pelemahan KPK Semakin Terasa
Selama 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pun dinilai belum mencerminkan komitmen Jokowi memperkuat KPK sebagaimana yang dijanjikan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman bahkan menyebutkan, pemerintah sibuk melemahkan KPK dalam 100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf.
Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera Pipin Sopian menambahkan, pemberantasan korupsi saat ini sedang mengalami kemunduran bila berkaca dari revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK.
“Awal periode kedua pemerintahan Jokowi, agenda pemberantasan korupsi mengalami kemunduran drastis dibandingkan era pemerintahan reformasi sebelumnya,” kata Pipin kepada wartawan, Rabu (29/1/2020).
“KPK dilemahkan perlahan-lahan melalui revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang bermasalah, sehingga publik meragukan keberanian KPK dalam mengungkap kasus korupsi kelas kakap,” tuturnya.
Kritik serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar yang menilai Jokowi telah memfasilitasi para koruptor.
“Dulu penanganan korupsi itu dilawan balik sama koruptornya. Tapi jaman Jokowi difasilitasi dengan undang undang yang baru. Jadi Jokowi sebenernya suporter koruptor gitu,” ujar Haris. (Kompas.com)