Apa yg di maksud paham murji’ah, mu’tazilah, dan asya’irah?
Murji’ah
Ibnu ‘Uyainah mengatakan,
” الْإِرْجَاءُ عَلَى وَجْهَيْنِ: قَوْمٌ أَرْجَوْا أَمْرَ عَلِيٍّ وَعُثْمَانَ ، فَقَدْ مَضَى أُولَئِكَ ، فَأَمَّا الْمُرْجِئَةُ الْيَوْمَ فَهُمْ قَوْمٌ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ بِلَا عَمِلٍ ” .
انتهى من “تهذيب الآثار” (2/ 659)
“Irja’ (pemahaman murji’ah) itu ada dua bentuk. Pertama, mereka yang menangguhkan urusan ‘Ali dan ‘Utsman. Tipe pertama dari Murji’ah sudah lewat masanya. Adapun murji’ah saat ini yang menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan tanpa amalan.” (Tahdzib Al-Atsar, 2: 659)
Beberapa keyakinan menyimpang dari Murji’ah:
Definisi iman hanyalah pembenaran dalam hati, atau pembenaran dengan hati dan lisan saja, tanpa memasukkan amalan.
Amalan tidak masuk dalam hakikat iman, juga bukan bagian dari iman. Jika amalan ditinggalkan seluruhnya, iman tidak akan hilang seluruhnya.
Pelaku maksiat tetap dikatakan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.
Amalan hanya masuk dalam kewajiban iman dan buahnya, amalan bukanlah masuk dalam hakikat iman.
Iman tidaklah bertambah dan tidak berkurang. Karena iman hanyalah pembenaran dengan hati yang tidak bisa masuk penambahan ataukah pengurangan.
Sumber: https://islamqa.info/ar/227276
Mu’tazilah
Disebut Mu’tazilah merujuk pada i’tizalnya (menyingkirnya) Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari majelis (halaqah) Al-Hasan Al-Bashri. Ada saat itu seseorang yang mengungkapkan pada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai imam, telah muncul di zaman kita ini orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Mereka menganut paham yang sama dengan Wa’idiyyah yaitu kaum Khawarij dalam hal ini.”
Al-Hasan Al-Bashri kemudian merenung sejenak. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri, Washil lantas menimpali, “Aku tidaklah mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak atau kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar itu berada pada manzilah bayna manzilatain (di antara dua keadaan), yaitu tidak mukmin, tidak kafir.”
Kemudian Washil keluar, lantas Al-Hasan Al-Bashri memberikan jawaban pada murid-muridnya, “Washil telah i’tizal (menyingkir) dari kita.” Setelah itu diikuti lagi oleh ‘Amr bin ‘Ubaid. Lantas Al-Hasan Al-Bashri dan murid-muridnya menyebut mereka berdua dengan sebutan Mu’tazilah. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 27)
Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:
Menolak semua sifat Allah.
Dalam masalah takdir, Mu’tazilah adalah Qadariyyah yaitu menolak takdir.
Punya pendapat yang hampir sama dengan Jahmiyyah yaitu meniadakah kalau Allah dapat dilihat pada hari kiamat, menyatakan Al-Qur’an itu makhluk (bukan kalamullah).
Menganggap bahwa semua ilmu itu kembali pada akal untuk bisa menerimanya.
mirip dengan Khawarij yaitu menganggap pelaku dosa besar kekal dalam neraka, namun mereka tidak berani mencap kafir. Itulah mengapa Mu’tazilah disebut “bancinya Khawarij” (Mukhanits Al-Khawarij).
Orang mukmin dianggap tidak masuk neraka, namun cuma mendatangi saja. Karena kalau masuk neraka, tak mungkin keluar lagi dari neraka sama sekali.
Menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal (akan fana).
Menyatakan Allah di mana-mana, di setiap tempat (Allah bi kulli makan).
Mengingkari adanya siksa kubur. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 30-31)
Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:
At-Tauhid (keesaan Allah)
Al-‘Adlu (keadilan)
Manzilah bayna manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan)
Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan ancaman Allah)
Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar (amar makruf nahi munkar)
Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.
Tauhid dimaksudkan untuk meniadakan sifat-sifat Allah.
Al-‘Adlu dimaksudkan untuk mengingkari bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh Allah.
Manzilah bayna Manzilatain maksudnya adalah bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua kedudukan, mereka tidak disebut mukmin, tidak pula disebut kafir.
Al-Wa’du wa Al-Wa’id dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka.
Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar dimaksudkan untuk menghalalkan pemberontakan kepada penguasa zalim. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 32-75)
Asya’irah
Asya’irah adalah kelompok yang menyandarkan pemahamannya pada Abul Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam fase kehidupannya melewati beberapa tahapan.
Pertama, Abul Hasan berpaham Mu’tazilah. Fase ini dijalani selama 40 tahun.
Kedua, beliau merujuk pada pemahaman Kullabiyyah lewat pelopornya ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah (nukilannya bisa dilihat di Siyar A’lam An-Nubala’ (14: 380, Penerbit Muassasah Ar-Risalah), Imam Ahmad bin Hambal yang paling santer membantah pemahaman ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.
Ketiga, merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun apakah secara keseluruhan, Abul Hasan mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah ataukah ada pemahaman Kullabiyah yang masih dianutnya? Di sini para ulama berbeda pandangan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Syaikh Hafizh Al-Hakami berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sudah mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah.
Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan dalam kitabnya Al-Ibanah di bagian akhir,
“Perkataan kami yang kami menjadikan bagian dari agama kami adalah berpegang pada Kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para ulama pakar hadits. Kami berpegang teguh pada itu semua. Yang perpegang dengan akidah seperti itu pula adalah Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya.”
Namun Asya’irah saat ini punya pemahaman yang berbeda dengan Abul Hasan Al-Asy’ari yang pada fase terakhir merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah. Secara lengkap pemahaman Asya’irah ini dibahas oleh Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memuji buku karya beliau tersebut untuk dijadikan rujukan. Silakan merujuk pada: https://islamqa.info/ar/226290.
Asya’irah saat ini punya pemahaman menyimpang:
Berpaham Jabariyah dalam hal takdir, bahwasanya Allah memaksa hamba untuk berbuat, tanpa punya pilihan.
Murji’ah dalam masalah iman.
Mu’attilah (menolak sifat) dalam masalah sifat Allah.
Asya’irah hanya mengakui tujuh atau sebagian sifat saja. Karena sifat-sifat yang mereka tetapkan itulah yang pas menurut akal.
Asya’irah menolak sifat Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dan menolak sifat ketinggian bagi Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah bukan di dalam alam, bukan di luarnya, bukan di atas, bukan di bawah.
Sampai-sampai Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits no. 28), hlm. 316 (Penerbit Daruts Tsaraya), “Kitab yang paling bagus membantah Asya’irah adalah kitab karya saudara kami Safar Al-Hawali. Karena kebanyakan orang tak memahami penyimpangan Asya’irah dari madzhab salaf melainkan dalam bahasan Asma’ dan Sifat saja. Padahal sejatinya mereka punya penyimpangan yang banyak.”
Dari tiga pemahaman di atas, dengan penyimpangan tersebut apakah pantas dimasukkan dalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf? Anda tahu bagaimana memberi penilaian dalam hal ini.
Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.
[rumaysho.com]