MAKASSAR-SULSEL, PalembangSatu – Rezim pemerintahan Jokowi melegalkan ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun lamanya dilarang. Kebijakan pencabutan larangan ekspor pasir laut tersebut termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Salah satu yang diatur dalam beleid tersebut misalnya dalam dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jokowi juga mengizinkan kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut dan memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk membersihkannya.
Penjualan pasir laut baru bisa dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari menteri yang menyelenggarakan penerbitan urusan di bidang mineral dan batubara.
Menanggapi aturan dilegalkannya kembali ekspor dan keruk pasir laut RI yang pernah disetop pada era Presiden Megawati Soekornoputri itu, Profesor Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar, Tasrief Surungan meminta Presiden Jokowi tidak gegabah dalam membuat aturan melegalkan eskpor pasir laut ini.
“Fungsi vital dan strategis itulah yang patut disadari oleh pemerintah sehingga tidak gegabah dalam membuat aturan melegalkan eskpor pasir laut,” ungkap Prof Tasrief Surungan kepada fajar.co.id, Kamis (1/6/2023).
Pasalnya, legalisasi ini akan memberi peluang sangat besar bagi hilangnya pulau-pulau kecil di Nusantara. Dan jika itu terjadi, sesungguhnya merupakan ancaman bukan hanya terhadap biota laut, tetapi termasuk pula ancaman bagi keutuhan NKRI.
“Hemat saya, aturan yang baru saja dibuat oleh Pemerintah harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi, sedemikian legalisasi itu dicabut,” katanya.
Tasrief berujar, melegalkan ekspor pasir laut, sebenarnya menurunkan harkat dan martabat Bangsa. Kenapa? Sebab memberi peluang bagi hilangnya pulau-pulau kecil.
Padahal, keberadaan pulau kecil merupakan bagian integral dari keutuhan wilayah Nusantara alias negara kesatuan Republik Indonesia.
Fungsi pulau pulau kecil juga luar biasa vital, selain untuk keberlansungan kehidupan biota laut di sekitar pulau-pulau kecil, juga menjadi perisai pantai bagi pulau-pulau besar di sekitarnya.
Contohnya, gugusan Pulau Spermonde, yang jumlahnya ratusan di sekitar perairan Makassar dan Kabupaten Pangkep. Gugusan pulau ini merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya.
Manfaatnya sangat banyak, selain penghasil aneka ragam sumber daya hayati seperti berjenis-jenis ikan, juga sebagai perisai ombak, bagi wilayah pantai Sulawesi Selatan. Bahkan, sekaligus menjadi pengaman jika sewaktu-waktu terjadi Tsunami.
Prinsip Fisikanya adalah, pulau-pulau kecil itu menarik penjalaran gelombang, termasuk gelombang tsunami ke arahnya, sebelum tsunami itu menerpa pantai pulau utama.
“Sesungguhnya sudah ada bukti. Akibat penambangan pasir laut yang pernah beroperasi, sejumlah wilayah pesisir kita mengalami pengkisan (aberasi). Contohnya, beberapa bagian dari Pantai Galesong di Kabupaten Takalar, Sulsel menghadapi fenomena ini, dan ini tentu terkait erat dengan adanya proyek penambangan pasir laut yang di sekitar wilayah gugusan kepulauan Spermonde,” paparnya.
Di sisi lain, aturan ekspor pasir laut ini, tegas Tasrief, banyak logika yang dilanggar. Peraturan yang melegalkan ekspor pasir laut, pada satu sisi hanya memperhitungkan pemecahan masalah, terutama masalah ekonomi.
Namun peraturan itu sama sekali tidak memperhatikan bahwa itu justru akan menimbulkan beragam masalah baru.
“Dan satu hal yang seolah dilupakan, bahwa melegalkan ekspor pasir lalu, sebenarnya melegalkan penjualan tanah (air) sedikit demi sedikit. Artinya, aturan tersebut melanggar landasan bernegara. Sebab, itu tak ada jalan lain, peraturan tersebut harus dicabut,” pungkasnya. (*)